Kali ini saya akan membahas artikel tentang Sejarah Tentang
Perang Korea.
Perang Korea adalah
sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang terjadi sejak 25 Juni
1950 sampai27 Juli 1953. Perang ini juga disebut "perang yang
dimandatkan" (bahasa Inggris: proxy war) antara Amerika Serikat bersama
sekutuPBB-nya dengan komunis Republik Rakyat Tiongkok yang bekerjasama dengan
Uni Soviet (juga anggota PBB). Peserta perang utama adalah Korea Utara dan
Korea Selatan. Sekutu utama Korea Selatan adalah Amerika Serikat, Kanada,
Australia, dan Britania Raya, meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara
di bawah bendera PBB. Sekutu Korea Utara, seperti Republik Rakyat Tiongkok
menyediakan kekuatan militer, sementara Uni Soviet yang menyediakan penasihat
perang, pilot pesawat, dan juga persenjataan untuk pasukan Tiongkok dan Korea
Utara.
Latar belakang
Di Korea Selatan, perang ini biasa disebut sebagai Perang
6-2-5 (yuk-i-o jeonjaeng) yang mencerminkan tanggal dimulainya perang pada 25
Juni. Sementara itu, di Korea Utara, perang ini secara resmi disebutchoguk
haebang chǒnjaeng ("perang pembebasan tanah air"). Perang Korea juga
disebut Chosǒn chǒnjaeng ("Perang Joseon", Joseon adalah sebutan
Korea Utara untuk tanah Korea).
Perang Korea secara resmi disebut Chao Xian Zhan Zheng
(Perang Korea) di Republik Rakyat Tiongkok. Kata "Chao Xian" merujuk
ke Korea pada umumnya, dan secara resmi Korea Utara.
Istilah Perang Korea juga dapat menyatakan pertempuran
sebelum invasi maupun setelah gencatan senjata dilakukan.
Pendudukan Jepang (1910–1945)
Setelah mengalahkan Dinasti Qing Cina pada Perang
Sino-Jepang Pertama (1894–96), Kekaisaran Jepang menduduki Kekaisaran
Korea(1897–1910) yang dipimpin oleh Kaisar Gojong. Satu dekade kemudian, saat
mengalahkan Kekaisaran Rusia pada Perang Rusia-Jepang (1904–05), Jepang
menjadikan Korea sebagai protektorat-nya melalui Perjanjian Eulsa pada tahun
1905, kemudian menganeksasinya melalui Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea pada
tahun 1910.
Sejak saat itu banyak kaum nasionalis dan intelektual yang
melarikan diri. Beberapa dari mereka membentuk Pemerintahan Sementara Korea,
dipimpin oleh Syngman Rhee, di Shanghai pada tahun 1919, dan menjadi
pemerintahan dalam pengasingan yang hanya diakui oleh sedikit negara. Antara
tahun 1919 hingga 1925, kaum komunis Korea memulai pemberontakannya terhadap
Jepang.
Korea dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang bersama
dengan Taiwan, yang merupakan bagian dari Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya; pada tahun 1937, Gubernur-Jenderal Minami Jiro memerintahkan dilakukannya
asimilasi budaya Jepang terhadap 23,5 juta penduduk koloni dengan melarang
bahasa, sastra, dan budaya Korea, dan menggantinya dengan budaya Jepang, serta
memerintahkan orang Korea mengganti nama mereka menjadi nama Jepang. Pada tahun
1938, pemerintahan kolonial menjalankan sistem kerja paksa; hingga 1939, 2,6
juta orang Korea bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja paksa; pada tahun
1942, pria-pria di Korea dipaksa menjadi tentara Jepang.
Sementara itu di Cina, kelompok nasionalis Tentara Revolusi
Nasional dan kelompok komunis Tentara Pembebasan Rakyat mengorganisir
(sayap-kanan dan sayap-kiri) patriot Korea yang mengungsi. Kelompok Nasionalis
yang dipimpin oleh Yi Pom-Sok bertempur diPertempuran Burma (Desember 1941 —
Agustus 1945).
Kelompok komunis, berada dibawah pimpinan Kim Il-sung, bertempur
melawan Jepang di Korea.
Selama Perang Dunia II, tentara Jepang memanfaatkan makanan,
ternak, dan logam dari Korea untuk tujuan perang. Tentara Jepang di Korea
meningkat dari 46.000 (1941) ke 300.000 personel (1945). Tentara Jepang juga
merekrut paksa 2,6 juta tenaga kerja yang dikontrol oleh polisi kolaborasionis
Korea; lebih dari 723.000 orang dikirim ke luar negeri dan juga ke kota-kota di
Jepang. Pada Januari 1945, 32% tenaga kerja Jepang adalah orang Korea; pada
Agustus 1945, ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima, 25% di
antara mereka tewas. Pendudukan Jepang di Korea dan Taiwan itu tidak diakui
oleh negara kekuatan dunia pada akhir perang.
Pada tahun berikutnya, Amerika Serikat dan Soviet membuat
perjanjian untuk membagi Korea menjadi dua, tanpa melibatkan pihak Korea. Korea
saat itu diwakili oleh kolonel Amerika Serikat Dean Rusk dan Charles Bonesteel.
Dua tahun sebelumnya, diKonferensi Kairo (November 1943), Nasionalis Cina,
Britania Raya, dan Amerika Serikat memutuskan bahwa Korea harus menjadi negara
merdeka, "pada waktunya"; Stallin pun setuju. Pada bulan Februari
1945, di Konferensi Yalta, Sekutu gagal mendirikan perwalian Korea sebagaimana
diwacanakan pada tahun 1943 oleh presiden Amerika Serikat Roosevelt dan Perdana
Menteri Inggris Winston Churchill.
Sesuai perjanjian AS-Soviet, Uni Soviet mendeklarasikan
perang pembebasan Korea dari Jepang pada tanggal 9 Agustus 1945, dan, pada
tanggal 10 Agustus, Tentara Merah berhasil menduduki Korea bagian utara, dengan
pendaratan amfibi di bagian utara paralel ke-38. Soviet juga berhasil mengusir
tentara Jepang dan masuk melalui Manchuria. Tiga minggu kemudian, pada 8
September 1945, Letnan Jendral John R. Hodge dari Amerika Serikat tiba di
Incheon untuk menerima penyerahan Jepang di wilayah Selatan paralel ke-38.
Pemisahan Korea (1945)
Pada Konferensi Potsdam (Juli—Agustus 1945), Sekutu secara
sepihak memutuskan untuk membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak
Korea sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan Konferensi Kairo (November 1943),
ketika Churchill, Chiang Kai-shek, dan Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan
bahwa Korea harus menjadi negara bebas dan merdeka. Selain itu, sebelumnya,
Konferensi Yalta (Februari 1945) mengizinkan Stalin membangun "zona
penyangga" Eropa — negara satelit yang berada di bawah Moskwa — sebagai
balasan karena telah membantu Amerika Serikat di Perang Pasifik melawan Jepang.
Pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah menguasai bagian
utara semenanjung Korea, sebagaimana yang telah disepakati, dan pada tanggal 26
Agustus berhenti di paralel utara ke-38 selama 3 minggu untuk menunggu
kedatangan pasukan Amerika Serikat di Selatan.
Pada hari itu pula, dengan
semakin dekatnya jadwal kapitulasi Jepang (15 Agustus), Amerika Serikat ragu
Uni Soviet akan mengakui peran mereka dalam "komisi bersama",
perjanjian pendudukan Korea yang disponsori Amerika Serikat. Sebulan
sebelumnya, untuk memenuhi persyaratan politik-militer Amerika Serikat, Kolonel
Dean Rusk dan Charles Bonesteel III membagi semenanjung Korea menjadi dua di
garis lintang 38 derajat setelah dengan terburu-buru (tiga puluh menit)
memutuskan bahwa Daerah Pendudukan AS di Korea harus setidaknya memiliki dua
pelabuhan.
Untuk menjelaskan mengapa zona demarkasi (paralel ke-38)
terlalu selatan, Rusk mengatakan, "bahkan meskipun perbatasan itu lebih ke
utara daripada yang dapat secara realistis dicapai oleh pasukan Amerika, dalam
hal terjadi perselisihan Soviet... kami merasa penting untuk menyertakan ibu
kota Korea sebagai tanggung jawab pasukan Amerika," terutama ketika
"dihadapkan dengan kurangnya jumlah pasukan AS yang tersedia, juga faktor
ruang dan waktu, yang mengakibatkan sulitnya pasukan mencapai lebih jauh ke utara
sebelum pasukan Soviet sampai terlebih dahulu.” Pasukan Soviet setuju dengan
demarkasi itu.
Dengan berkuasanya pemerintahan militer, Jenderal John R.
Hodge secara langsung mengontrol Korea Selatan (USAMGIK 1945–48). Ia memperkuat
kontrolnya dengan cara:
- Pertama : mengembalikan kekuasaan administrator-administrator kunci kolonial Jepang dan juga polisi kolabolatornya
- kedua : menolak pengakuan USAMGIK terhadap Republik Rakyat Korea(Agustus–September 1945)—pemerintahan sementara Korea yang mulai berkuasa di semenanjung Korea—karena dianggap sebagai komunis.
Kebijakan AS, yang menolak pemerintahan populer di Korea,
menimbulkan gejolak dalam masyarakat, dan mengakibatkan munculnya Perang
Saudara Korea. Pada 3 September 1945, Letnan Jendral Yoshio Kozuki, komandan,
Tentara Wilayah ke-17 Jepang, menghubungi Hodge, mengatakan bahwa tentara
Soviet mulai bergerak ke arah selatan lintang 38 derajat di Kaesong. Hodge
mempercayai keakuratan informasi itu.
Pada Desember 1945, Korea di bawah Komisi Bersama AS-Uni
Soviet menyetujui Konferensi Menteri Luar Negeri Moskwa(Oktober 1945),
lagi-lagi tanpa melibatkan pihak Korea. Komisi tersebut memutuskan bahwa negara
tersebut akan merdeka setelah lima tahun di bawah kepemimpinan dewan perwalian.
Rakyat Korea marah dan memulai revolusi di Selatan, beberapa hanya melakukan
protes, sisanya mengangkat senjata; untuk menahannya, USAMGIK melarang
demonstrasi (8 Desember 1945) dan mencabut perlindungan hukum terhadap
Pemerintahan Revolusioner dan Komite Rakyat Republik Rakyat Korea pada 12 Desember
1945.
Penindasan kedaulatan ini mengakibatkan 8.000 pekerja kereta
api berunjuk rasa pada 23 September 1946 di Pusan, yang kemudian menyebar ke
seluruh wilayah Korea yang dikuasai AS; USAMGIK pun kehilangan kekuasaannya.
Pada 1 Oktober 1946, polisi Korea membunuh tiga mahasiswa dalam
"Pemberontakan Daegu"; rakyat menyerang balik dan membunuh 38 polisi.
Demikian pula pada tanggal 3 Oktober, sekitar 10.000 orang menyerang kantor
polisi Yeongcheon, membunuh tiga anggota polisi dan melukai 40 orang lainnya;
di tempat lain, massa membunuh 20 tuan tanah dan pejabat Korea Selatan yang
pro-Jepang. USAMGIK mendeklarasikan hukum perang untuk mengontrol Korea
Selatan.
Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang
dipimpin oleh nasionalis Syngman Rhee, menentang perwalian Soviet-Amerika di
Korea, berpendapat bahwa setelah tiga puluh lima tahun (1910–45) dikuasai
pemerintah kolonial Jepang (pemerintah asing), rakyat Korea menolak dipimpin
pemerintahan asing lainnya, termasuk AS dan Soviet. Untuk mendapatkan
keuntungan dari memanasnya suhu perpolitikan, AS keluar dari Persetujuan
Moskwa—dan membentuk pemerintahan sipil anti-komunis di Korea Selatan. AS juga
melakukan pemilu yang kemudian ditentang, dan diboikot oleh Uni Soviet untuk
memaksa AS mematuhi Persetujuan Moskwa.
Resultan pemerintah anti-komunis Korea Selatan yang
mengumumkan secara resmi konstitusi politik nasional (17 July 1948) memilih
Syngman Rhee (20 July 1948) sebagai presiden dan mendirikan Republik Korea
Selatan pada 15 Agustus 1948. Demikian juga di Zona Pendudukan Rusia, Uni
Soviet mendirikan pemerintahan komunis Korea Utarayang dipimpin olehKim
Il-sung. Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengusir komunis dan anggota
kelompok sayap kiri dari panggung perpolitikan nasional. Merasa dicabut haknya,
mereka pergi ke daerah perbukitan dan bersiap melakukan perang gerilya melawan
pemerintahan Republik Korea yang disokong oleh Amerika Serikat.
Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung,
bermaksud menyatukan Korea, namun di bawah sistem politik yang dianut
masing-masing pihak. Dengan persenjataan yang lebih baik, Korea Utara berhasil
meningkatkan ketegangan di perbatasan, dan kemudian menyerang setelah
sebelumnya melakukan provokasi. Sebaliknya, Korea Selatan, dengan bantuan
terbatas dari Amerika Serikat, tidak mampu menandinginya.
Pada awal masa Perang
Dingin itu, pemerintah AS menganggap semua komunis dari bangsa apapun adalah
anggota blok Komunis yang dikontrol atau setidaknya mendapat pengaruh dari
pemerintahan Moskwa; akibatnya AS mengaggap perang sipil di Korea sebagai
manuver hegemoni dari Uni Soviet.
Tentara AS mundur dari Korea tahun 1949, meninggalkan
tentara Korea Selatan dengan sedikit persenjataan. Di lain pihak, Uni Soviet
memberikan bantuan persenjataan dalam jumlah banyak ke tentara Korea Utara dan
mendukung rencana invasi Kim Il-Sung.
Jalannya perang
Professor Shen Zhihua, yang menggunakan dana pribadinya
untuk membeli arsip-arsip Uni Soviet, banyak menemukan telegram-telegram antara
Moskwa dengan Beijing sebelum perang dimulai. Berikut ini adalah ikhtisar
singkat dari sejumlah telegram antara Mao dan Stalin.
• Pada 1
Oktober 1950 Kim Il-sung mengirim telegram ke Cina, meminta intervensi militer.
Pada hari yang sama, Mao Zedong menerima telegram Stalin, yang juga meminta
Cina mengirim pasukan ke Korea.
• Pada 5
Oktober 1950, di bawah tekanan Mao Zedong dan Peng Dehuai, Komite Pusat Komunis
Cina memutuskan untuk melakukan intervensi militer di Korea.
• Pada 11
Oktober 1950 Stalin dan Zhou Enlai mengirim telegram yang ditandatangani
bersama kepada Mao, yang menyatakan:
1. Tentara
Cina yang dikirimkan kurang persiapan dan tidak dilengkapi tank dan artileri;
dibutuhkan waktu dua bulan sebelum bantuan perlindungan udara sampai di sana.
2. Dalam
jangka waktu satu bulan, tentara dengan perlengkapan memadai harus sudah siap
di posisinya masing-masing; bila tidak, maka pasukan AS akan berjalan lebih
jauh ke utara dan mengalahkan Korea Utara.
3. Pasukan
dengan perlengkapan yang memadai harus dikirim ke Korea dalam jangka waktu enam
bulan, bila lebih, maka Korea Utara diperkirakan telah diduduki AS, sehingga
bantuan tentara akan sia-sia.
• Pada 12
Oktober 1950, pukul 15:30 waktu Beijing, Mao mengirim telegram kepada Stalin
melalui duta besarnya: Saya setuju dengan keputusan Anda (Stalin dan Zhou).
• Pada 12
Oktober 1950, pukul 22:12 waktu Beijing, Mao mengirim telegram lain: Saya
setuju dengan telegram 10 Oktober, pasukan saya akan tetap di tempatnya, saya
telah mengeluarkan perintah untuk menunda rencana ke Korea.
• Pada 12
Oktober 1950, Stalin mengirim telegram ke Kim Il-sung, mengatakan: tentara
Rusia dan Cina tidak akan datang.
• Pada 13
Oktober, duta besar Rusia di Beijing mengirim telegram kepada Stalin,
mengatakan: Mao Zedong telah memberitahu kepadanya bahwa Komite Pusat Komunis
Cina telah menyetujui keputusan pengiriman pasukan ke Korea.
Korea Utara menyerang (Juni 1950)
Meskipun PBB menerima banyak pesan yang memberitahu bahwa
Korea Utara akan melakukan invasi, PBB menolak semuanya. Sebelum perang, pada
awal tahun 1950, perwira CIA stasiun Cina Douglas Mackiernan menerima ramalan
intelejen Cina dan Korea Utara yang meramalkan bahwa tentara Korut akan
menyerang ke Selatan.
Dengan alasan membalas provokasi Korea Selatan, Tentara
Korea Utara (tentara Korut) menyebrangi paralel ke-38, dibantu tembakan
artileri, Minggu pagi tanggal 25 Juni 1950. tentara Korut mengatakan bahwa
pasukan Republik Korea (ROK), di bawah pimpinan "bandit pengkhianat
Syngman Rhee", telah menyebrangi perbatasan "terlebih dahulu",
dan mereka akan menangkap serta mengeksekusi Rhee. Pada tahun-tahun sebelumnya,
kedua Korea telah saling menyerang satu sama lain.
Beberapa jam kemudian kemudian, Dewan Keamanan PBB dengan
suara bulat mengecam invasi Korea Utara terhadap Republik Korea, melalui
Resolusi 82 DK PBB, meskipun Uni Soviet dengan hak vetonya memboikot pertemuan
sejak Januari. Pada 27 Juni 1950, Presiden Truman memerintahkan angkatan udara
dan laut AS untuk membantu rezim Korea Selatan. Setelah memperdebatkan masalah
ini, DK PBB, pada 27 Juni 1950, menerbitkan Resolusi 83 yang merekomendasikan
negara anggota memberikan bantuan militer kepada Republik Korea. Ketika
menunggu pengumuman fait accompli dari dewan kepada PBB, Wakil Menteri Luar
Negeri Uni Soviet menuduh Amerika memulai intervensi bersenjata atas nama Korea
Selatan.
Uni Soviet menentang
legitimasi perang tersebut, karena (I) data intelejen tentara Korea Selatan
yang menjadi sumber Resolusi 83 didapatkan dari intelejen AS; (II) Korea Utara
(Republik Demokratik Rakyat Korea) tidak diundang sebagai anggota sementara
PBB, yang berarti melanggar Piagam PBB Pasal 32; dan (III) perang Korea berada
di luar lingkup Piagam PBB, karena perang perbatasan Utara-Selatan awalnya
dianggap sebagai perang saudara.
Selain itu, perwakilan Soviet memboikot PBB untuk mencegah
tindakan Dewan Keamanan, dan menantang legitimasi tindakan PBB; ahli hukum
mengatakan bahwa untuk memutuskan suatu tindakan diperlukan suara bulat dari 5
anggota tetap DK PBB.
Korea Utara memulai "Perang Pembebasan Tanah Air"
dengan melakukan invasi darat dan udara dengan 231.000 tentara, yang berhasil
menguasai objek dan wilayah sesuai dengan yang direncanakan seperti Kaesŏng,
Chuncheon, Uijeongbu, dan Ongjin, yang mereka dapatkan setelah mengerahkan 274
tank T-34-85, 150 pesawat tempur Yak, 110 pesawat pengebom, 200 artileri, 78
pesawat latihan Yak, dan 35 pesawat mata-mata.
Sebagai tambahan pasukan invasi, tentara Korut memiliki 114
pesawat tempur, 78 pesawat pengebom, 105 T-34-85, dan 30.000 pasukan yang berpangkalan
di Korea Utara. Di laut, meskipun hanya terdiri dari beberapa kapal perang
kecil, juga terjadi pertempuran yang cukup sengit antara keduanya.
Di pihak lain, tentara Korea Selatan masih belum siap.
Pada
South to the Naktong, North to the Yalu (1998), R.E. Applebaum melaporkan bahwa
tentara Korea Selatan memiliki tingkat kesiapan tempur yang rendah pada 25 Juni
1950. Tentara Korea Selatan hanya memiliki 98.000 tentara (65.000 tentara
tempur, 33.000 tentara penyokong), tidak memiliki tank, dan 22 pesawat yang
terdiri dari 12 pesawat tipe penghubung dan 10 pesawat latihan AT6. Selain itu
tidak ada pasukan asing yang berpangkalan di Korea saat itu - meskipun terdapat
pangkalan AS di Jepang.
Dalam jangka waktu beberapa hari saja, banyak tentara Korea
Selatan — yang kurang loyal terhadap rezim Syngman Rhee — lari ke selatan atau
malah berkhianat dan bergabung dengan tentara Korea Utara.
Intervensi Amerika Serikat
Meskipun terjadi demobilisasi besar-besaran pasca Perang
Dunia II di tubuh sekutu, ada sepasukan tentara AS di Jepang dengan jumlah yang
cukup besar di bawah pimpinan Jenderal MacArthur. Mereka bisa melawan Korea
Utara. Selain AS, di sana, Inggris juga memiliki kekuatan tempur yang hampir
sama besarnya.
Pada hari Sabtu, 24 Juni 1950, Menteri Luar Negeri AS Dean
Acheson memberi tahu Presiden Harry S. Truman melalui telepon, "Bapak
Presiden, saya memiliki berita yang sangat serius. Korea Utara telah menyerang
Korea Selatan." Truman dan Acheson mendiskusikan sebuah serangan balasan
sebagai respon yang akan diambil AS dengan pimpinan departemen pertahanan, yang
setuju bahwa Amerika Serikat harus mengusir agresi militer, lalu
menghubungkannya dengan agresi Adolf Hitler pada tahun 1930 (yang ketika itu
didiamkan AS). Kesalahan seperti itu tidak boleh terulang. Presiden Truman
mengakui bahwa pertempuran ini berkaitan dengan usaha Amerika mencegah
komunisme yang semakin mengglobal:
"Komunisme sedang beraksi di Korea, sebagaimana yang
dilakuan Hitler, Mussolini, dan Jepang lakukan sepuluh, lima belas, dan dua
puluh tahun yang lalu. Saya merasa yakin bila Korea Selatan dibiarkan jatuh,
pemimpin Komunis akan semakin melebarkan kekuasaannya hingga ke negara dekat
pantai kita sendiri. Jika komunis dibiarkan memaksakan kehendak mereka di
Republik Korea tanpa perlawanan dari dunia yang bebas, negara-negara kecil
lainnya akan kehilangan keberanian untuk melawan ancaman dan agresi dari tetangga
Komunisnya yang lebih kuat."
Presiden Harry S. Truman mengumumkan bahwa AS akan melawan
"agresi yang tidak diprovokasi" dan "bersemangat mendukung upaya
dewan keamanan [PBB] untuk mengakhiri pelanggaran serius terhadap perdamaian.
Pada Agustus 1950, Presiden dan Sekretaris Negara dengan mudah membujuk Kongres
mengegolkan $12 miliar untuk menambah anggaran militer di Asia yang penting
untuk mencapai tujuan National Security Council Report 68 (NSC-68), penahanan
global AS terhadap komunisme.
Atas rekomendasi Acheson, Presiden Truman memerintahkan
Jenderal MacArthur mengirim material kepada tentara Republik Korea dan
memberikan perlindungan udara pada evakuasi warga negara Amerika Serikat. Akan
tetapi, presiden menolak mengebom Korea Utara secara langsung. Selain itu,
presiden juga memerintahkanArmada ke-7 AS untuk melindungi Taiwan, yang meminta
untuk ikut bertempur di Korea. Akan tetapi presiden menolak permintaan itu
dengan alasan dapat memancing kemarahan Cina.
Pertempuran Osan adalah pertempuran besar pertama antara AS
dan Korea Utara di Perang Korea. Pada 5 Juli 1950, Task Force Smith menyerang
Korea Utara di Osan, namun karena tidak membawa senjata yang mampu
menghancurkan tank Korea Utara, mereka gagal, dengan total 180 orang tewas,
terluka, atau tertangkap. Korea Utara maju ke Selatan, memaksa Divisi ke-24 AS
mundur ke Taejeon, yang di kemudian hari juga berhasil dikuasai Korea Utara
pada Pertempuran Taejon; Divisi ke-24 menderita 3.602 tewas atau terluka dan
2.962 ditangkap—termasuk komandan divisi Mayor Jendral William F. Dean. Di
udara, Angkatan Udara Korea Utara menembak jatuh 18 pesawat tempur dan 29
pengebom AS; sementara AS hanya menjatuhkan 5 pesawat tempur Korea Utara.
Pada bulan Agustus, Korea Utara berhasil menekan Korea
Selatan dan tentara AS ke kota Pusan, di Korea Tenggara. Dalam serangan itu,
Korea Utara menghabisi akademisi Korea Selatan dengan membunuh pegawai negeri
dan kaum intelektual. Pada 20 Agustus, Jenderal MacArthur memperingatkan
pemimpin Korea Utara Kim Il-Sung bahwa ia bertanggung jawab terhadap kekejaman
tentara Korea Utara. Hingga bulan September, tentara PBB hanya bisa mengontrol
pinggiran kota Pusan, atau hanya 10% dari wilayah Korea.
Dalam keputusasaan di Pertempuran Perimeter Pusan
(Agustus-September 1950), Angkatan Darat Amerika Serikat menahan serangan
tentara Korut yang bermaksud merebut kota. Tak lama kemudian, USAF dapat
menghambat logistik tentara Korut dengan menghancurkan 32 jembatan. USAF juga
menghancurkan depot logistik, penyulingan minyak, dan pelabuhan untuk
menghambat pasokan material tentara Korut. Sebagai akibatnya, tentara Korut di
semenanjung Selatan tidak bisa mendapatkan pasokan.
Di saat yang sama, garnisun AS di Jepang terus-menerus
mengirim tentara dan bahan untuk memperkuat Perimeter Pusan. Batalion tank
dikerahkan ke Korea dari San Francisco (di daratan Amerika Serikat); pada akhir
Agustus, Perimeter Pusan memiliki sekitar 500 tank. Pada awal September 1950,
tentara Republik Korea dan pasukan komando PBB menyerang balik 100.000 tentara
Korut dengan 180.000 pasukan.
Pertempuran Incheon
Keadaan di Pusan Perimeter telah berbalik; tentara Korut
mulai kekurangan orang dan pasokan sementara di sisi Republik Korea pasukan
telah mendapatkan tambahan senjata dan amunisi. Untuk membantu pertahanan di
Perimeter Pusan, Jenderal MacArthur merekomendasikan sebuah pendaratan amfibi
di Incheon, di belakang garis pertahanan Korut. Pada 6 Juli, ia memerintahkan
Mayor Jenderal Hobart Gay, komandan Divisi Kavaleri pertama, untuk merencanakan
pendaratan amfibi tersebut pada 12—14 Juli, Divisi Kavaleri pertama berangkat
dari Yokohama untuk membantu Divisi Invantri ke-24.
Operasi yang disebut sebagai Operasi Chromite ini
dilaksanakan saat gelombang ombak mengganas. Jenderal McArthur telah lama
merencanakan penyerbuan ini, namun Pentagon selalu mencegahnya. Ketika
mendapatkan otoritas, ia mengerahkan pasukannya yang terdiri dari 70.000
infantri Divisi Marinir Pertama, Divisi Infantri ke-7, dan 8.600 tentara
Republik Korea. Pada tanggal hari-h tanggal 15 September, tim penyerang
menghadapi sedikit—namun kuat—tentara Korut; intelijen militer, operasi
psikologis, pengintaian, dan pengeboman turut berperan dalam operasi ini.
Pengeboman itu sendiri menghancurkan sebagian besar kota Incheon.
Pendaratan Incheon memungkinkan Divisi Kavaleri Pertama
untuk mulai menyerang ke bagian utara. Mereka maju 106.4 mil ke dalam wilayah
musuh dan kemudian bergabung dengan Divisi Infantri Ke-7 di Osan.
Perlahan-lahan mereka menghabisi tentara Korut, dan mengepung yang masih
tersisa di wilayah Korea Selatan; dengan cepat, Jenderal MacArthur merebut
kembali Seoul; namun tentara Korut yang nyaris terkepung berhasil kabur ke
Utara dengan hanya 25.000 hinga 30.000 pasukan tersisa.
Serangan PBB: Invasi ke Korea Utara (September–Oktober 1950)
Pada tanggal 1 Oktober 1950, Komando PBB mendorong tentara
Korut hingga ke Utara, melewati paralel ke-38, Republik Korea kemudian mengejar
mereka masuk ke wilayah Korea Utara. Enam hari kemudian, pada 7 Oktober, dengan
otorisasi dari PBB, pasukan Komando PBB mengikuti pasukan Republik Korea
menyerang ke wilayah Utara. Angkatan Darat AS kedepalan dan tentara Republik
Korea menyerang ke bagian Barat Korea, dan berhasil merebut Pyongyang, ibukota
Korea Utara, pada 19 Oktober 1950. Di akhir bulan, pasukan PBB menahan 135,000
tawanan perang; dan mereka melihat adanya perpecahan di tentara Korea Utara.
Jenderal MacArthur dan beberapa politisi Amerika sempat
mengusulkan untuk menyerang Komunis Cina untuk menghancurkan depot Tentara
Rakyat China yang memasok kebutuhan perang Korea Utara, namun Presiden Truman
tidak setuju, dan memerintahkan Jenderal MacArthur tidak melewati perbatasan
Sino-Korea.
Intervensi Tiongkok
Pada 27 Juni 1950, dua hari setelah invasi terhadap Korut
dan tiga bulan sebelum intervensi Tiongkok untuk Perang Korea, Presiden Truman
mengirimkan Armada 7 AS ke Selat Taiwan, untuk melindungi Republik Nasionalis
Cina dari ancaman Republik Rakyat China (RRT). Tanggal 4 Agustus 1950, Mao
Zedong melapor kepada Politbiro bahwa ia akan melakukan intervensi bila Tentara
Relawan Rakyat (PVA) sudah siap untuk dimobilisasi. Pada 20 Agustus 1950,
Perdana Menteri Zhou Enlai menginformasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa
"Korea adalah tetangga Cina... Rakyat Cina harus terlibat mencari solusi
untuk masalah Korea "-dengan demikian, melalui diplomat dari negara
netral, Cina memperingatkan AS, bahwa dalam menjaga keamanan nasional Cina,
mereka akan melakukan intervensi terhadap Komando PBB di Korea. Presiden Truman
menafsirkan pesan ini sebagai "sebuah usaha untuk pemerasan terhadap
PBB", dan mengabaikannya.
Politbiro mengizinkan intervensi Cina di Korea
pada tanggal 2 Oktober 1950-sehari setelah tentara Republik Korea menyeberangi
perbatasan 38-paralel. Kemudian, Cina mengklaim bahwa pesawat-pesawat pembom AS
telah melanggar wilayah udara nasional RRT dalam perjalanannya menuju Korea
Utara-sebelum Cina melakukan invervensi di Korea Utara.
Pada bulan September, di Moskow, Perdana Menteri RRT Zhou
Enlai menambahkan tekanan diplomatik dan personal dalam telegram Mao kepada
Stalin, meminta bantuan militer dan material. Stalin menundanya; Mao
dijadwalkan kembali meluncurkan "Perang Melawan Bala Bantuan Amerika dan
Korea" dari 13 ke 19 Oktober 1950. Uni Soviet hanya mau memberikan bantuan
serangan udara di bagian Utara Sungai Yalu. Namun Mao menganggap bantuan itu
tidak berguna karena pertempuran lebih banyak terjadi di sisi Selatan sungai
tersebut. Soviet juga membatasi bantuannya dan hanya mau mengirimkan material
berupa truk, senjata mesin, granat, dan sejenisnya.
Pada 8 Oktober 1950, sehari setelah tentara AS menyebrang ke
wilayah Korea Utara, Mao Zedong memerintahkan Tentara Pembebasan Rakyat
Frontier Barat Laut direorganisasi ke dalam People's Volunteer Army (PVA), yang
sedang bertempur dalam "Perang Melawan Amerika dan Membantu Korea."
Mao menjelaskan kepada Stalin: "Bila kita membiarkan Amerika Serikat
menduduki seluruh Korea, kekuatan revolusioner Korea akan mendapatkan kekalahan
telak, penjajah Amerika akan merajalela dan memberikan efek negatif terhadap
seluruh Timur Jauh."
Pengintaian udara AS mengalami kesulitan menemukan unit PVA
di siang hari karena disiplin yang mereka miliki. PVA bergerak dari
"malam-ke-malam" (19.00-03.00) dan membuat kamuflase agar tak
terlihat dari udara pada jam 05.30. Di siang hari, mereka mengirim tim untuk
mencari lokasi istirahat dan mendirikan bivak. Bila pesawat melintas, mereka
diharuskan untuk diam tak bergerak hingga pesawat tersebut menghilang. Perwira
PVA diperbolehkan menembak pasukannya yang dianggap dapat mengancam keamanan
pasukan. Disiplin yang keras seperti itu membuat tiga divisi pasukan berjalan
sejauh 286 mil (460 km) dari An-tung, Manchuria, ke medan pertempuran dalam 19
hari; divisi lain yang melewati daerah pegunungan berliku mampu berjalan rata
18 mil (29 km) setiap harinya selama 18 hari.
Pada 10 Oktober 1950, Batalion Tank ke-89 digabungkan dengan
Divisi Kavaleri Pertama, menambah jumlah kendaraan baja yang tersedia untuk
menyerang ke Utara. Pada 15 Oktober, setelah menghadapi perlawanan Korut,
Resimen Kavaleri ke-7 dan Charilie Company, Batalion Tank ke-70 berhasil
menguasai kota Namchonjam. Pada 17 Oktober, mereka menyerang lewat arah kanan,
menjauhi jalan utama, untuk menguasai Hwangju. Dua hari kemudian, Divisi
Pertama Kavaleri menguasai Pyongyang, ibu kota Korea Utara, sehingga pada 19
Oktober 1950 tentara AS sepenuhnya menguasai Korea Utara.
Di tempat lain, 15 Oktober 1950, Presiden Truman dan Jen.
MacArthur bertemu di Wake Island di tengah Samudera Pasifik. Kepada Presiden
Truman, Jen. MacArthur berspekulasi bahwa kecil risiko China akan
mengintervensi di Korea; bahwa kesempatan tentara China membantu Korut telah
hilang; bahwa China memiliki 300.000 tentara di Manchuria, dan sekitar
100.000-125.000 tentara di Sungai Yalu; dan menyimpulkan bahwa meskipun setengah
dari seluruh tentara menyebrang ke Selatan, mereka dapat dengan mudah
dihancurkan karena tidak memiliki perlindungan udara.
Setelah menghadapi dua pertempuran kecil pada 25 Oktober,
pertempuran besar pertama antara China-Amerika terjadi pada 1 November 1950;
jauh di wilayah Korea Utara, ribuan tentara China mengepung dan menyerang unit
Komando PBB dalam Pertempuran Unsan. Di Barat, akhir November, di sepanjang
Sungai Chongchon, tentara China menyerang dan mengalahkan beberapa divisi Korea
Selatan, dan menghabisi tentara PBB yang tersisa. Pasukan PBB dan tentara ke-8
AS berhasil bergerak mundur karena mendapat dukungan Brigade Turki yang menahan
serangan China selama 4 hari (26-30 November). Di Timur, pada Pertempuran
Chosin Reservoir , dan Regimental Combat Team Divisi Infantri ke-7 (3000
tentara) dan divisi marinir (12.000—15.000 marinir) juga mundur setelah
dikepung, dengan total tewas secara keseluruhan 15.000 orang.
Di akhir November, tentara China berhasil mengusir pasukan
Komando PBB dari timur laut Korea Utara, hingga melewati perbatasan paralel
ke-38. Pasukan PBB lari ke pantai timur dan membangun pertahanan di kota
pelabuhan Hungnam—dan menunggu bantuan di sana. Pada Desember 1950, 193 kapal
yang membawa 105.000 tentara, 98.000 penduduk sipil, 17.500 kendaraan, dan
350.000 ton suplai tiba di Pusan, di bagian selatan tanjung korea. Sebelum
kabur, pasukan Komando melakukan operasi untuk menghambat pergerakan pasukan
musuh dengan menghancurkan sebagian besar kota Hungam dan, pada 16 Desember
1950, Presiden Truman mendeklarasikan keadaan kedaruratan nasional melalui
Proklamasi Presidensial No. 2914, 3 C.F.R. 99 (1953), yang berlaku hingga 14
September 1978.
Penyerangan Musim Dingin China (awal
1951)
Pada bulan Januari 1951, tentara Cina dan Korut melaksanakan
Penyerangan Fase Ketiga (atau dikenal pula dengan sebutan "Penyerangan
Musim Dingin Cina") menggunakan taktik serangan malam di mana tentara PBB
secara diam-diam dikepung kemudian diserang tiba-tiba. Penyerangan itu juga didukung
oleh bunyi-bunyi trompet dan gong dengan tujuan sebagai alat komunikasi kepada
pasukan yang menyerang sekaligus membuat pasukan musuh mengalami disorientasi
secara mental. Pasukan PBB tidak memiliki pengalaman menghadapi taktik seperti
ini dan sebagai hasilnya beberapa pasukan langsung lari meninggalkan
persenjataannya ke arah Selatan. Penyerangan Musim Dingin China ini berhasil
membuat pasukan PBB kewalahan. Tentara China dan Korut berhasil menguasai Seoul
pada 4 Januari 1951.
Selain kekalahan itu, tentara AS juga mengalami pukulan
telak setelah Jendral Walker tewas akibat kecelakaan mobil, yang membuat moral
pasukan menurun. Kejadian ini hampir memaksa Jendral MacArthur menggunakan bom
atom untuk menyerang China dan Korut serta memotong jalur persediaan mereka.
Akan tetapi, dengan datangnya pengganti Walker, Letnan-Jendral Matthew Ridgway,
moral pasukan kembali meningkat.
Pasukan PBB di bagian barat mundur ke Suwon, di bagian
tengah mundur ke Wonju, di bagian timur mundur ke Samchok, di mana garis depan
distabilisasi dan dipertahankan. Tentara China mulai kehabisan logistik dan
terpaksa membatalkan rencananya menyerang lebih jauh; makanan, amunisi, dan
material dibawa di malam hari, dengan berjalan kaki atau sepeda, melewati
Sungai Yalu. Pada akhir Januari, setelah menemukan bahwa musuh telah
meninggalkan garis pertempuran, Jendral Ridgway memerintahkan operasi mata-mata
yang dikenal sebagai Operasi Roundup (5 Februari 1951) yang berlangsung secara
bertahap sambil mempertahankan superioritas udara tentara PBB.
Operasi ini sukses dan mengakibatkan tentara PBB mampu
mencapai Sungai Han dan menguasai Wonju. Pada pertengahan Februari, tentara
China menyerang balik dengan Penyerangan Fase Keempat, yang dilancarkan dari
Hoengsong menghadapi tentara AS di Chipyong-ni, di bagian tengah. Tentara AS
dan Tentara Perancis berjuang menghadapi serangan itu dalam sebuah pertempuran
singkat namun cukup menghambat efektifitas serangan China.
Pada dua minggu terakhir Februari 1951, Operasi Roundup
diikuti oleh Operasi Killer (pertengahan Februari 1951) yang dilancarkan oleh
Angkatan Bersenjata ke-8. Operasi tersebut merupakan serangan berskala penuh
untuk menewaskan sebanyak mungkin tentara KPA dan PVA. Operation Killer
berakhir dengan I Corps menduduki kembali wilayah di sebelah selatan sungai
Han, dan IX Corps merebut Hoengsong. Pada 7 Maret 1951, Angkatan Bersenjata
ke-8 melancarkanOperasi Ripper, dan berhasil mengusir PVA dan KPA dari ibukota
Korea Selatan pada 14 Maret 1951.
Kebuntuan (Juli 1951—Juli 1953)
Pada tahun-tahun berikutnya, tentara PBB dan China tetap
berperang, namun perubahan wilayah kekuasaan tidak banyak berubah dan terjadi
kebuntuan. Sementara pengeboman wilayah Korea Utara terus berlangsung,
perundingan gencatan senjata dimulai tanggal 10 Juli 1951 di Kaesong.
Pertempuran juga terus berlangsung meskipun perundingan tengah berjalan; tujuan
Korsel-PBB adalah untuk merebut kembali seluruh Korea Selatan dan menghindari
kehilangan wilayah.
Tentara China dan Korut juga melakukan operasi serupa serta
melakukan operasi-operasi psikologikal. Pertempuran-pertempuran utama dalam
fase ini antar alain Pertempuran Bloody Ridge(18 Agustus—15 September 1951)
danPertempuran Heartbreak Ridge (13 September—15 Oktober 1951), Pertempuran Old
Baldy (26 Juni—4 Agustus 1952),Pertempuran White Horse (6–15 Oktober 1952),
Pertempuran Triangle Hill (14 Oktober—25 November 1952), danPertempuran Hill
Eerie(21 Maret—21 Juni 1952), pengepungan Outpost Harry (10—18 Juni 1953),
Pertempuran Hook (28—29 Mei 1953), dan Pertempuran Pork Chop Hill (23 Maret—16
Juli 1953).
Negosiasi gencatan senjata berlanjut selama dua tahun di Kaesong (Korea Utara bagian Selatan),
kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua Korea). Problem utama dari negosiasi
ketika itu adalah repatriasi tawanan perang. China, Korea Utara, dan tentara
PBB tidak bisa membuat kesepakatan karena banyak tentara China dan Korea Utara
yang menolak kembali ke Utara.Dalam perjanjian gencatan senjata terakhir,
sebuah Komisi Repatriasi Negara-Negara Netral dibentuk untuk mengurusi masalah
tersebut.
Pada tahun 1952, AS memilih presiden baru, dan pada tanggal
29 November 1952, presiden terpilih Dwight D. Eisenhower terbang ke Korea untuk
mempelajari hal-hal yang mungkin dapat mengakhiri perang Korea.Pada 27 Juli
1953, proposal gencatan senjata dari India disetujui oleh Korea Utara, China,
dan tentara PBB sehingga mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan
batas di paralel ke-38. Dalam persetujuan tersebut tertulis bahwa pihak-pihak
yang terlibat menciptakan sebuaeh Zona Demiliterisasi Korea. Tentara PBB, yang
didukung oleh Amerika Serikat, Korea Utara, dan China menandatangani Perjanjian
Gencatan Senjata; Presiden Korea Selatan Syngman Rhee menolak untuk
menandatangani perjanjian itu, karenanya Republik Korea dianggap tidak
berpartisipasi dalam perjanjian tersebut.
Setelah perang, pasukan PBB menguburkan pasukannya yang
tewas di pemakaman sementara di Hŭngnam. Dengan Operasi Glory (Juli-November
1954), masing-masing pihak saling bertukar mayat pasukannya. Mayat 4.167
angkatan darat dan Korps Marinir AS ditukar dengan 13.528 mayat tentara China
dan Korut. Sebanyak 546 penduduk sipil yang tewas di kamp tahanan perang PBB
diserahkan kepada pemerintahan Korsel. Setelah Operasi Glory, 416
"prajurit tak dikenal" dimakamkan di Punchbowl Cemetery, Hawaii.
Korban perang
Tentara PBB dan AS menghitung jumlah tentara China dan Korea
Utara yang tewas berdasarkan laporan korban-tewas di lapangan, interogasi
tahanan perang, dan intelejen militer (dokumen, mata-mata, dan lain-lain).
Korban tewas: AS: 36.940 terbunuh, China:100.000—1.500.000 terbunuh; kebanyakan
sumber memperkirakan 400.000 orang yang terbunuh;Korea Utara: 214,000–520,000;
kebanyakan sumber memperkirakan 500.000 orang yang terbunuh. Korea Selatan:
Rakyat sipil: 245.000—415.000 terbunuh; Total rakyat sipil yang tewas antara
1.500.000—3.000.000; kebanyakan sumber memperkirakan 2.000.000 orang tewas.
Akhir perang
Perang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat,
Republik Rakyat Tiongkok, danKorea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata.
Presiden Korea Selatan, Syngman Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji
menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Namun secara resmi, perang
ini belum berakhir sampai dengan saat ini.
Semoga artikel yang telah saya bagikan ini bisa diterima dan
dipahami dengan jelas,serta bermanfaat bagi kita semua.
==Winnig303== Permainan Betting Game Online Yang Sedang Populer Saat ini...
BalasHapusDengan 1 User ID, Sudah Dapat Bermain 6 Jenis Games Sekaligus :
1. Sportbooks
2. Live Casino
3. Slot Online
4. Lottery
5. Poker Online
6. Sabung Ayam
Situs Resmi www(titik)winning303(titik)online
Customer Service 24 Jam
Hubungi Kami di :
WA: +6287785425244