Sejak masa dahulu Indonesia adalah pusatnya
kerajaan-kerajaan yang berjaya dimasanya.selama periode sebelum lahirnya
NKRI,banyak situs-situs peninggalan bersejarah ditemukan di Indonesia.slah
satunya adalah Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah.artikel
kali ini saya akan membahas tentang Sejarah Candi Borobudur.
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di
Borobudur,Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih
100km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40
km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh
para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha
terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar
yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi
dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 archa Buddha.Borobudur
memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.Stupa utama
terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh
tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha
tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan)
Dharmachakra mudra(memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun
sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai
tempatziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju
pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.Para peziarah masuk melalui
sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan
suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga
tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu
(ranah hawa nafsu),Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud).
Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang
terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada
abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta
mulai masuknya pengaruh Islam.Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini
sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa.
Sejak saat itu Borobudur telah
mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs
Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah
keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan
mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati TrisuciWaisak. Dalam
dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang
paling banyak dikunjungi wisatawan.
lahirnya Nama Borobudur
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut
candi; istilahcandi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua
bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya
gerbang,gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama
Borobudurtidak jelas,meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di
Indonesia tidak diketahui.Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku
"Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.
Raffles menulis
mengenai monumen bernamaborobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua
yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang
memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk
kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada
1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur,
kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa
terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang
seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga
menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro
purba".Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari
istilah bhudhara yang berarti gunung.
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah
satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata
Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di
lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi
rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain
ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur".
Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada
pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskertayang artinya
kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau
mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya
ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk
mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat
pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis
memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra
bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan
raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai
penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan
(Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.Istilah
Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal,
bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa
Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa
Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan
boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu
di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan
candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur
membentang dalam satu garis lurus.Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan
tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu
yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi
ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar
dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada
kesatuan perlambang dari ketiga candi ini.
Ketiga candi ini
(Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam
hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya
keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan
tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui
secara pasti.
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga
ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan
tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur
dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar
Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di
sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa
jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon.
Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama
Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan
tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin
dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke
Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Ditemukannya Danau purba
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah
datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari
permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah
mengering.Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di
kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur
dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau.
Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu
Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah
sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung
di atas permukaan danau.Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah),
utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam
semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh Boddhisatwa
sebagailaksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau
sebagai lapik stupa.
Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga
teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang
kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha
yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak
Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai.Akan tetapi teori
Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan
dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan
bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada
masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan
Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat
situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk
sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan
sekitar Borobudur,yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan
danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti
menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan
menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14.
Aliran sungai dan aktivitas
vulkanik diduga memiliki andil turut mengubah bentang alam dan topografi
lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung berapi paling
aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan
Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.
Sejarah utama Candi borobudur
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang
membangun Borobudur dan apa kegunaannya.Waktu pembangunannya diperkirakan
berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup
Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan
abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.
Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan
wangsa Syailendradi Jawa Tengah,yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan
Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun
lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga
pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang
berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui
sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui
temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama
Hindu Siwa.
Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan
Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja
beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah
timur dari Borobudur.Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang
hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian
Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih
awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat
itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin
kepada umat Buddha untuk membangun candi.Bahkan untuk menunjukkan
penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang
dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam
Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada
masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai
konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan
mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.Akan tetapi diduga
terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa
Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang
kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu
Boko.
Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di
Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra,akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi
dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur
adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa
raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi
sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa
ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti
sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1. Tahap
pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun
750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan
dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat
dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu
sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit
ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun
bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian
diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan
pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
2. Tahap
kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar
yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3. Tahap
ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa
tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa
yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini
dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi
diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup
relief Karmawibhangga.
Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang
berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur
sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur
bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah
bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar
bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh.
Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk
tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang
dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk
menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan
yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan
ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar,
sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu.
4. Tahap
keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar
langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta
pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad
terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon
dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit.
Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum
diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak
lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha.
Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok
memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian
letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang
menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa
sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.Bangunan suci ini
disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam
naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia
menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga
mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan
sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng
rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah
yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan
penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk
yang dikaitkan dengan monumen ini.
Menurut Babad Tanah
Jawi(Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana,
pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada
1709.Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para
pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah
Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro,
putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.
Meskipun terdapat
tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran
datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha
yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton,
sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam
kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian
dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit(angker)
sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa
saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga,
mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini
pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan kembali
Setelah Perang
Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan
Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles
ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap
sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan
membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari
perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa.
Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia
dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa
Bumisegoro. Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak
dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius,
seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini.
Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak
belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang
mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan
membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk
menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya
menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali
monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah
hilang ini.
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di
Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh
bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas
kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha
besar di stupa utama. Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa
yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang
insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan
menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan
penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859.
Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang
dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja
sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans,
yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada
1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan,
dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.Foto
pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van
Kinsbergen.
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang
cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi
pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca
Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha
terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri
agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan
arca Buddha tanpa kepala.
Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran
kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala
inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan
reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil,
ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.Akibatnya, pemerintah
menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh
atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya
menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini
dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata,
arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs
bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun
1896, Raja Thailand,Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda
(kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari
Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan
gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur.
Artefak yang diboyong ke
Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief,
dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca
penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di
barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala,
kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.
Peristiwa kontemporer
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh
UNESCO,Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha.
Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha
di Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran,
wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai
tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur
nasional di Indonesia dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha
utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir
di Candi Borobudur.
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat
sembilan bom.Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang
tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan
sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk
serangan atas Candi Borobudur. Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi
hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman
13 tahun penjara.
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak
dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000
diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.Angka
ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah
wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia
1997.Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat
setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.Pada 2003, penduduk dan
wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes
dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana
membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'. Upaya
masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata
Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur.
Akan
tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan
pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan
bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata
sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan
jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua
ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang
pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan
korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of
Civilizations (jejak peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur
Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan
UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand,
Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur.
Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik
gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur.
Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan
beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut
dihadiri Presiden Republik Indonesia.
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam
upaya pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung;
(ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian
bagian-bagian yang hilang.Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan
hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor
yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk,
tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan.
Meningkatnya
popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga
Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh
apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga,
vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering
terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk
membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap
kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.
Arsitektur
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia,
sebagai contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika
seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India,
antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan
unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang
ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan
leluhur asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.
Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila
dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang
tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos
atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana.
Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat
mazhabMahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam
semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.Bagaikan sebuah
kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui
untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran
123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam
teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk
lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur
tersembunyi di kaki Borobudur.Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160
diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini
terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat
adegan dalam gambar relief.Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu
yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi
misteri.
Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran
monumen.Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan
perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India
mengenai arsitektur dan tata kota.Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan
dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan
alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari
tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.Batu ini dipotong
dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan
semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock
(saling kunci) yaitu seperti balok-balok legoyang bisa menempel tanpa perekat.
Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu
sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu.
Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup
baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan
kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan
yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi
ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan
tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur
tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah
lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat
demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida
berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara
berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya
berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi.Stupa memang
dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa
dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara
kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit
dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama
Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih
berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah.
Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh
yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan
bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan
Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu
panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau
jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak
tangan dikembangkan sepenuhnya. Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan
sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini.
Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di
monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang
tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur. Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut
dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan talamemiliki
fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga
berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.
Relief
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada
teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan
sangat teliti dan halus.Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan
proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat
indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian
dunia Buddha.
Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India,
seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu.
Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita
bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa,
seperti tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh
tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau
sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban
tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya
figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil
menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok
manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan,
serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur
tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan
Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief
Borobudur.
Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan,
busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat
transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief
terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur.Kapal kayu bercadik khas Nusantara
ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat
berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di
sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut
mapradaksina dalam bahasaJawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina
yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya,
antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini
senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya,
mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka
secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama)
dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun
sisi-sisi lainnya serupa benar.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara
singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang
menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni
sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan
cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang
mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran
terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan
merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati
(samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah
yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang
terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga
dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan
relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari
turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama
di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi
sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang
dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan,
baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya
penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha.
Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha,
putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang
secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di
sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan
sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum
dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang
membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah
Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang
bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau
perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat
ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka
akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia
kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief
candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya
terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal
dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka,
karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong
ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya
mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana
yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab
lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di
dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi
teratai serta menampilkan mudraatau sikap tangan simbolis tertentu. Patung
buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu,
diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin
berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104
relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72
relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di
tingkat Rupadhatu.Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca
Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran
melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran
ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa.Dari jumlah asli sebanyak 504
arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang
(sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang
koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan
tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu padamudra atau posisi sikap
tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah,
kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat
pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing
arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca
Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang
di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra
melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya
tersendiri.
Demikian artikel Tentang Sejarah Candi Borobudur. Semoga artikel yang telah saya bagikan ini bisa diterima dan dipahami
dengan jelas, serta bermanfaat bagi kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar