Home » » Sejarah Berdirinya Negara Brunei Darussalam

Sejarah Berdirinya Negara Brunei Darussalam

Written By Unknown on Rabu, 16 April 2014 | 07.33


Brunei Darussalam atau Brunei
 nama resmi: Negara Brunei Darussalam, (bahasa Malaysia:Negara Brunei Darussalam, Jawi: نڬارا بروني دارالسلام), adalah negara berdaulat di Asia Tenggara yang terletak di pantai utara pulau Kalimantan. Negara ini memiliki wilayah seluas 5.765 km² yang menempati pulau Kalimantan dengan garis pantai seluruhnya menyentuh Laut Cina Selatan. Wilayahnya dipisahkan ke dalam dua bagian oleh negara bagian di Malaysia yaitu Sarawak.

Saat ini, Brunei Darussalam memiliki Indeks Pembangunan Manusia tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Singapura, sehingga diklasifikasikan sebagai negara maju. Menurut Dana Moneter Internasional, Brunei memiliki produk domestik bruto per kapita terbesar kelima di dunia dalam keseimbangan kemampuan berbelanja. 

Sementara itu, Forbes menempatkan Brunei sebagai negara terkaya kelima dari 182 negara karena memiliki ladangminyak bumi dan gas alam yang luas. Selain itu, Brunei juga terkenal dengan kemakmurannya dan ketegasan dalam melaksanakan syariat Islam, baik dalam bidang pemerintahan maupun kehidupan bermasyarakat.

Asal-usul Brunei
Silsilah kerajaan Brunei didapatkan pada Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang mula-mula memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807).

Brunei adalah sebuah negara tertua di antara kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Keberadaan Brunei Tua ini diperoleh berdasarkan kepada catatanArab, Cina dan tradisi lisan. Dalam catatan Sejarah Cina dikenal dengan nama Po-li, Po-lo, Poni atau Puni dan Bunlai. Dalam catatan Arab dikenali dengan Dzabaj atau Randj.

Catatan tradisi lisan diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan baru nah yaitu setelah rombongan klan atau suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negera baru. 

Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk transportasi dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka mereka pun mengucapkan perkataan baru nah yang berarti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan. Kemudian perkataan baru nah itu lama kelamaan berubah menjadi Brunei.

Replika stupa yang dapat ditemukan di Pusat Sejarah Brunei menjelaskan bahwa agama Hindu-Buddha pada suatu masa dahulu pernah dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah menjadi kebiasaan dari para musafir agama tersebut, apabila mereka sampai di suatu tempat, mereka akan mendirikan stupa sebagai tanda serta pemberitahuan mengenai kedatangan mereka untuk mengembangkan agama tersebut di tempat itu. 

Replika batu nisan P'u Kung Chih Mu, batu nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid ibni Hasan ibni Muhammad Shah Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih (Mufaqih) pula menggambarkan mengenai kedatangan agama Islam di Brunei yang dibawa oleh musafir, pedagang dan mubaligh-mubaliqh Islam, sehingga agama Islam itu berpengaruh dan mendapat tempat baik penduduk lokal maupun keluarga kerajaan Brunei.

Islam mulai berkembang dengan pesat di Kesultanan Brunei sejak Syarif Ali diangkat menjadi Sultan Brunei ke-3 pada tahun 1425 M karena sultan yang sebelumnya mengahwini puterinya dengan Syarif Ali. Sultan Syarif Ali adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan / pancir dari Cucu Rasulullah Shalallahualaihi Wassallam yaitu Amirul Mukminin Hasan / Syaidina Hasan sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah / prasasti dari abad ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, Brunei. 

Keturunan Sultan Syarif Ali ini kemudian juga berkembang menurunkan Sultan-Sultan disekitar wilayah Kesultanan Brunei yaitu menurunkan Sultan-Sultan Sambas dan Sultan-Sultan Sulu.

Kata Darussalam, istilah dalam bahasa Arab untuk "Tempat yang Damai" atau "Rumah Keamanan", disematkan pada abad ke-15 oleh Sultan ke-3, Syarif Ali, untuk menegaskan Islam sebagai agama negara, serta untuk meningkatkan penyebarannya.

Sejarah Brunei
Para peneliti sejarah telah mempercayai terdapat sebuah kerajaan lain sebelum berdirinya Kesultanan Brunei kini, yang disebut orang Tiongkok sebagai Po-ni. Catatan orang Tiongkok dan orang Arab menunjukkan bahwa kerajaan perdagangan kuno ini ada di muara Sungai Brunei awal abad ke-7 atau ke-8. 

Kerajaan itu memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei. Kesultanan Brunei juga merupakan pusat perdagangan dengan China. Kerajaan awal ini pernah ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatra pada awal abad ke-9 Masehi dan seterusnya menguasai Borneo utara dan gugusan kepulauan Filipina. 

Kerajaan ini juga pernah menjadi taklukan (vazal) Kerajaan Majapahit yang berpusat di pulau Jawa. Nama Brunai tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah bawahan Majapahit. Kekuasaan Majapahit tidaklah lama karena setelah Hayam Wuruk wafat Brunai membebaskan diri dan kembali sebagai sebuah negeri yang merdeka dan pusat perdagangan penting.

Pada awal abad ke-15, Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Parameswara telah menyebarkan pengaruhnya dan kemudian mengambil alih perdagangan Brunei. Perubahan ini menyebabkan agama Islam tersebar di wilayah Brunei oleh pedagangnya pada akhir abad ke-15. Kejatuhan Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, telah menyebabkan Sultan Brunei mengambil alih kepimpinan Islam dari Melaka, sehingga Kesultanan Brunei mencapai zaman kegemilangannya dariabad ke-15 hinga abad ke-17 sewaktu memperluas kekuasaannya ke seluruh pulau Borneo dan ke Filipina di sebelah utaranya.

 Semasa pemerintahan Sultan Bolkiah (1473-1521) yang terkenal disebabkan pengembaraan baginda di laut, malah pernah seketika menaklukkan Manila. kesultanan Brunei memperluas pengaruhnya ke utara hingga ke Luzon danSulu serta di sebelah selatan dan barat Kalimantan; dan pada zaman pemerintahan sultan yang kesembilan, Hassan (1605-1619), yang membangun susunan aturan adat istiadat kerajaan dan istana yang masih kekal hingga hari ini.

Pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan sedikit kawasan timur laut Kalimantan kepada Sultan Sulu di FilipinaSelatan sebagai penghargaan terhadap Sultan Sulu dalam menyelesaikan perang saudara di antara Sultan Abdul Mubin dengan Sultan Mohyidin. Persengketaan dalam kerajaan Brunei merupakan satu faktor yang menyebabkan kejatuhan kerajaan tersebut, yang bersumber dari pergolakan dalam disebabkan perebutan kuasa antara ahli waris kerajaan, juga disebabkan timbulnya pengaruh kuasa penjajah Eropa di rantau sebelah sini, yang menggugat corak perdagangan tradisi, serta memusnahkan asas ekonomi Brunei dan kesultanan Asia Tenggara yang lain.

Pada Tahun 1839, James Brooke dari Inggris datang ke Serawak dan menjadi raja di sana serta menyerang Brunei, sehingga Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sebagai balasan, ia dilantik menjadi gubernur dan kemudian "Rajah" Sarawak di Barat Laut Borneo sebelum meluaskan kawasan di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 19 Desember1846, pulau Labuan dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke. Sedikit demi sedikit wilayah Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui perusahaan-perusahaan dagang dan pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak berdiri sendiri di bawah protektorat Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.

Pada masa yang sama, Persekutuan Borneo Utara Britania sedang meluaskan penguasaannya di Timur Laut Borneo. Pada tahun 1888, Brunei menjadi sebuah negeri di bawah perlindungan kerajaan Britania dengan mengekalkan kedaulatan dalam negerinya, tetapi dengan urusan luar negara tetap diawasi Britania. Pada tahun 1906, Brunei menerima suatu lagi langkah perluasan kekuasaan Britania saat kekuasaan eksekutif dipindahkan kepada seorang residen Britania, yang menasihati baginda Sultan dalam semua perkara, kecuali yang bersangkut-paut dengan adat istiadat setempat dan agama.

Pada tahun 1959, Brunei mendeklarasikan kerajaan baru yang berkuasa memerintah kecuali dalam isu hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan di mana isu-isu ini menjadi tanggung jawab Britania. Percobaan untuk membentuk sebuah badan perundangan pada tahun 1962 terpaksa dilupakan karena terjadi pemberontakan oleh partai oposisi yaituPartai Rakyat Brunei yang ingin menyatukan negara Brunei, Sarawak dan North Borneo menjadi Negara Kesatuan Borneo Utara, tetapi dengan bantuan Britania, pemberontakan ini berhasil diberantas.

 Pada akhir 1950 dan awal 1960, kerajaan Brunei ketika itu menolak rencana (walaupun pada awalnya menunjukkan minat) untuk bergabung dengan Singapura,Sabah, Sarawak, dan Tanah Melayu untuk membentuk Malaysia dan akhirnya Sultan Brunei ketika itu berkehendak untuk membentuk sebuah negara yang merdeka.

Pada 1967, Omar Ali Saifuddin III telah turun dari takhta dan melantik putra sulungnya Hassanal Bolkiah, menjadi Sultan Brunei ke-29. Baginda juga berkenan menjadi Menteri Pertahanan setelah Brunei mencapai kemmerdekaan penuh dan disandangkan gelar Paduka Seri Begawan Sultan. Pada tahun 1970, pusat pemerintahan negeri Brunei Town, telah diubah namanya menjadi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa baginda. Baginda mangkat pada tahun 1986.

Pada 4 Januari 1979, Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan. Pada 1 Januari 1984, Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan sepenuhnya.

Saat ini Brunei memiliki wilayah yang lebih kecil daripada masa lalu, dengan berbatasan dengan Serawak dari sebelah barat sampai timur wilayah itu, serta sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan.

Politik
Kerajaan Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki absolut dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, merangkap seagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan Penasihat Kesultanan dan beberapa Menteri. 

Sultan Hassanal Bolkiah yang gelarnya diturunkan dalam wangsa yang sama sejak abad ke-15, ialah kepala negara serta pemerintahan Brunei. Baginda dinasihati oleh beberapa majelis dan sebuah kabinet menteri, walaupun baginda secara berkesan merupakan pemerintah tertinggi.Media amat memihak kerajaan, dan kerabat kerajaan melestarikan status yang dihormati di dalam negeri.

Brunei tidak memiliki dewan legislatif, namun pada bulan September 2000, Sultan bersidang untuk menentukan Parlemen yang tidak pernah diadakan lagi sejak tahun 1984. Parlemen ini tidak mempunyai kuasa selain menasihati sultan. Disebabkan oleh pemerintahan mutlak Sultan, Brunei menjadi salah satu negara yang paling stabil dari segi politik di Asia.
Pertahanan Keamanan Brunei mengandalkan perjanjian pertahanan dengan Inggris di mana terdapat pasukan Gurkha yang terutama ditempatkan di Seria. Jumlah pertahanan keamanannya lebih kecil bila dibandingkan dengan kekayaannya dan negara negara tetangga. Secara teori, Brunei berada di bawah pemerintahan militer sejak pemberontakan yang terjadi pada awal dekad 1960-an. Pemberontakan itu dihancurkan oleh laskar-laskar Britania Raya dari Singapura.

Brunei memiliki dengan hubungan luar negeri terutama dengan negara negara ASEAN dan negara negara lain serta ikut serta sebagai anggota PBB. Kesultanan ini juga terlibat konflik Kepulauan Spratly yang melibatkan hampir semua negara ASEAN (kecuali Indonesia, Kamboja, Laos dan Myanmar), RRT dan Republik Tiongkok. Selain itu terlibat konflik perbatasan laut dengan Malaysia terutama masalah daerah yang menghasilkan minyak dan gas bumi. 

Brunei menuntut wilayah diSarawak, seperti Limbang. Banyak pulau kecil yang terletak di antara Brunei dan Labuan, termasuk Pulau Kuraman, telah dipertikaikan oleh Brunei dan Malaysia. Bagaimanapun, pulau-pulau ini diakui sebagai sebagian Malaysia di tingkat internasional.


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.